Senin, 11 Januari 2016

CERPEN PASSAMPO SIRI

Bismillah... Bagaimana kabarta semua? Heheh baru nongol lagi saya :D. Ini salah satu cerpen yang saya tulis, kemare dengan polosnya saya ikutkan lomba dan eng..ing..eng.... Tidak lolos hahaha ;D . Cerpen ini sengaja menggunakan  latar budaya lokal biar tampil beda gitu heee... :D yowwe silahkan menikmati, siapa tau bisa mengambil pelajaran :)



Mentari yang mulai tenggelam di ufuk barat, membuat pemandangan di sekitar mulai tampak gelap. Langit memancarakan warna merah kekuningan lambat laun menjadi abu-abu. Azan magrib riuh berkumandang. Di barat daya, di jalan dekat perbatasan kota Kabupaten Sinjai dan Bone, seorang gadis dengan balutan jilbab warna ungu muda, baju ungu dengan motif kecil bunga sakura, serta rok hitam polos, menyusuri jalan dengan tergesa-gesa. Sesekali melambai pada angkutan umum yang berlalu di hadapanya.  Malam ini juga dia harus sampai di kota Makassar. Hanya memerlukan lima sampai enam jam perjalanan dia akan sampai di sana, lalu esok hari dia akan berangkat ke Singapura berasama seorang teman yang tinggal di Makassar. Tak ada yang mengetahui kepergiannya kali ini, bahkan kerabat, juga keluarga calon suaminya. Wajahnya memancarkan aura kesedihan. Hatinya tertumpat resah. Sesekali dia mengusap air mata yang cucur. Andai mungkin saat itu di tangannya ada pistol kaliber 0,38, dia sudah menembaki kepalanya hingga hancur berkeping. Sehancur hatinya saat mengetahui fakta bahwa lelaki yang dijodohkan dengannya nyatanya  lebih mencintai adiknya. Hingga malam itu, pergi adalah satu-satunya cara terbaik yang terbersik dalam alam pikirnya. Meski kisah kepergianya harus berujung kehilangan, namun biarlah waktu dan jarak yang akan menghapus segala pilu yang mendera. Bak riak air dalam wadah yang diguncang-gunjangkan, lalu sekejap berlalu ditinggalkan, maka kelak ketika waktunya pulang, air itu sudah menjadi lebih tenang.
Pukul 18:30 WITA sebuah mobil toyota kijang LGX 2003, berplat kuning merapat di pelataran mesjid, tak jauh dari tempatnya berdiri. Tiga orang penumpang dan seorang sopir yang berbadan tambun keluar dari mobil.  Langkahnya dipacu untuk segera mendekat.
“Pak, mauki ke Makassar?” tanyanya dengan logat Bugis kental.
“Iye’, InshaAllah,” jawab sang sopir ramah.
“Masih bisa terima penumpang, Pak?”
“Iye’, bisa-bisa.” Mendengar jawaban itu, batinnya mengucap syukur. Hanya beberapa menit, dia dan beberapa penumpang lainya selesai melaksanakan salat magrib. Pukul 19:10 WITA, mobil itu melaju kencang menuju arah kota Kabupaten Sinjai, membawa dirinya dan sejuta luka dalam hatinya.


#######
            Dinginnya malam kini mulai terasa di sebuah desa di pelosok Kabupaten Bone. Malam ini akan menjadi suram walau sinar rembulan bersinar terang. Rumah panggung itu mulai terlihat sesak. Kerabat mulai berdatangan untuk meramaikan malam upacara mappacci[1]  sebelum melangsungkan pernikahan esok hari. Sementara itu, Hana sedari tadi mondar-mondar di depan pintu kamar ayahnya, tangannya menggenggam secarik kertas. Tampak sekali kegelisahan kini tengah menggari hatinya.
            “Ada apa, Nak?”  tanya ayahnya dari belakang yang membuat Hana terperanjat.
            “Mmmm … Anu ...,” jawab Hana ragu. Keringat dingin bercucuran di jidatnya. Tangan kirinya menggaruk kepala lantas menyodorkan secarik kertas, yang tak lain surat yang ditulis Hani sebelum pergi. Mata ayahnnya memerah seketika setelah membaca surat itu. Wajahnya memburaikan amarah yang mulai membuncah.  Ayahnya memanggil beberapa kerabat terdekat lantas berlalu dari hadapannya. Hana tertunduk pasrah. Ingatannya tertuju pada kata-kata dalam surat Hani yang memintanya untuk menggantikan dirinya menikah dengan Hamka, atau menjadi pasampo siri’[2] bagi keluarganya. Pikirannya kalut. Entah harus bersedih atas kepergian kakak perempuannya, atau harus bahagia dengan keadaan yang akan membawanya bersanding bersama lelaki yang dicintai juga mencintainya.
            Hana berdiri mematung di balik pintu kamar ayahnya. Keadaan di sekitar masih terlihat normal. Pukul 23.00 WITA ayah dan beberapa kerabat terdekat serta  perwakilan pihak mempelai lelaki melakukan perundingan tertutup. Tak ada lagi upacara mappacci, hanya dentuman genderang bertalu-talu dan suara sahut menyahut  kerabat jauh yang memecah kesunyian malam itu.
####
            Pagi itu, sebuah pesta mewah akan di langsungkan. Bosara[3] berisi kue tradisional, serta hidangan khas masyarakat Bugis lainya sudah  disiapkan di atas meja tamu. Beberapa anak dara[4] yang memakai baju bodo[5], siap menyambut para tamu undangan. Di dalam kamar, Hana terdiam di depan cermin. Memandang lamat-lamat wajah yang ada di hadapanya. Ada perasaan bersalah yang tersembunyi di sana. Bagaimanapun dia sangat tahu isi hati Hani. Perasaan yang sesungguhnya sangat mencintai calon suaminya itu.
            “Inikah yang kau inginkan, Han?” pekiknya dalam sunyi. Air matanya tumpah, melelehkan riasan di wajahnya. Tangannya meremas pakaian pengantinnya, “kenapa harus jadi seperti ini?”
            Beberapa menit kemudian, akad nikah segera di laksanakan. Pangantin lelaki, Pak Imam yang akan menjadi penghulu dan beberapa saksi sedari tadi sudah berada di ruang akad. Ayahnya yang akan bertindak sebagai wali juga sudah ada di sana. Hana merapikan kembali riasan di wajahnya. Beberapa kerabat kini menemaninya di ruangan itu. Seperti tak terjadi apa-apa. Tak ada yang mengungkit kepergian Hani. Hanya beberapa kerabat dekat menunjukan wajah simpati padanya, karena harus bertindak sebagai passampo siri’. Pesta itu di atur sedemikian rupa agar terlihat normal. Namun, tiba-tiba saja segalanya menjadi berubah, kala sebuah sirene mendengung di halaman rumah. Seisi rumah berhambur keluar. Beberapa orang berseragam abu-abu muda menurukan mayat itu dari dalam ambulans, sedang sang sopir berbincang dengan Ayah lantas menyerahkan sebuah tas yang tak lain adalah milik Hani. Dari informasi, di ketahui bahwa Hani mengalami kecelakan mobil di kawasan Kabupaten Takalar.
            “Haniiiii ...,” teriak Hana kalap. Menyerbu tubuh Hani yang kini sudah kaku, “kenapa jadi seperti ini, Han? kenapaaa?” Beberapa kerabat mencoba mengangkat tubuhnya, mengingatkan agar mengucap istigfar. Sementara Ayahnya berdiri mematung memandangi mayat putri sulungnya itu. Tubuhnya gemetar. Matanya sayu menyiratkan kesedihan yang mendalam. Hari itu, pesta pernikahan yang seharusnya berlangsung bahagia seketika itu menjadi pesta yang di selimuti duka. Sementara Hana masih memeluk tubuh kakaknya, sang sopir ambulans mendekatinya, lalu menyerahkan secarik kertas untuknya. Sekuat tenaga Hana membaca tiap jengkal tulisan itu. Surat terkahir Hani yang di tulis untuknya.

Adikku, Hana.
Mungkin saat kau membaca surat ini, rasa marah itu belum terhapus dari hatimu. Saat ini saya sudah pergi jauh. Tak perlu kau mencariku. Hanya zinkan aku terus mengais maaf darimu, juga dari Ayah, meski mungkin tak ada lagi maaf yang tersisa untukku. Kepergianku mungkin menjadi siri [6] bagi kelurga, tapi bolehkah aku meminta kepadamu untuk kedua kalinya? Kau harus hidup bahagia bersama  Hamka. Berbahagialah dengan cinta kalian yang sempurna. Dengan begitu dosa siri yang kutanggung akan lambat laun terasa lebih ringan.
Kakakmu, Hani.

#####
            Setelah dimandikan lalu disalatkan, Hani lalu dikuburkan di pemakaman umum yang terletak tak jauh dari mesjid kampung. Menjelang sore beberapa kerabat masih berkumpul di rumah itu. Pihak mempelai lelaki meminta agar akad nikah tetap di langsungkan. Hana mengangguk pertanda mengiyakan.
            Sore itu, mentari masih bersinar terang dan langit yang berselimut awan menjadi saksi berlangsungnya akad nikah antara dua insan yang saling cinta. Hana tertunduk dalam diam. Beningan hangat itu masih saja mengguyur pipinya. Perasaannya campur aduk. Namun yang dia tahu, saat ini ada janji yang sedang dipikulnya. Janji untuk selalu hidup bahagia.

           
           



[1] Mappacci :  Upacara mensucikan diri pada malam menjelang hari “H” pada pernikahan suku Bugis, Sulawesi Selatan

[2] Passampo siri’ : Penutup malu

[3] Bosara : Tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis dan sebagainya.

[4] anak dara : Anak gadis

[5] baju bodo : Baju adat suku Bugis-Makassar
[6] Siri’ : Malu

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes