Bismillah... Bagaimana kabarta semua? Heheh baru nongol lagi saya :D. Ini salah satu cerpen yang saya tulis, kemare dengan polosnya saya ikutkan lomba dan eng..ing..eng.... Tidak lolos hahaha ;D . Cerpen ini sengaja menggunakan latar budaya lokal biar tampil beda gitu heee... :D yowwe silahkan menikmati, siapa tau bisa mengambil pelajaran :)
Mentari yang mulai tenggelam di ufuk barat, membuat pemandangan di
sekitar mulai tampak gelap. Langit memancarakan warna merah kekuningan lambat
laun menjadi abu-abu. Azan magrib riuh berkumandang. Di barat daya, di jalan
dekat perbatasan kota Kabupaten Sinjai dan Bone, seorang gadis dengan balutan
jilbab warna ungu muda, baju ungu dengan motif kecil bunga sakura, serta rok
hitam polos, menyusuri jalan dengan tergesa-gesa. Sesekali melambai pada
angkutan umum yang berlalu di hadapanya.
Malam ini juga dia harus sampai di kota Makassar. Hanya memerlukan lima
sampai enam jam perjalanan dia akan sampai di sana, lalu esok hari dia akan
berangkat ke Singapura berasama seorang teman yang tinggal di Makassar. Tak ada
yang mengetahui kepergiannya kali ini, bahkan kerabat, juga keluarga calon
suaminya. Wajahnya memancarkan aura kesedihan. Hatinya tertumpat resah. Sesekali
dia mengusap air mata yang cucur. Andai mungkin saat itu di tangannya ada
pistol kaliber 0,38, dia sudah menembaki kepalanya hingga hancur berkeping.
Sehancur hatinya saat mengetahui fakta bahwa lelaki yang dijodohkan dengannya
nyatanya lebih mencintai adiknya. Hingga
malam itu, pergi adalah satu-satunya cara terbaik yang terbersik dalam alam
pikirnya. Meski kisah kepergianya harus berujung kehilangan, namun biarlah waktu
dan jarak yang akan menghapus segala pilu yang mendera. Bak riak air dalam
wadah yang diguncang-gunjangkan, lalu sekejap berlalu ditinggalkan, maka kelak
ketika waktunya pulang, air itu sudah menjadi lebih tenang.
Pukul 18:30 WITA sebuah mobil toyota kijang LGX 2003, berplat
kuning merapat di pelataran mesjid, tak jauh dari tempatnya berdiri. Tiga orang
penumpang dan seorang sopir yang berbadan tambun keluar dari mobil. Langkahnya dipacu untuk segera mendekat.
“Pak, mauki ke Makassar?” tanyanya dengan logat Bugis kental.
“Iye’, InshaAllah,” jawab sang sopir ramah.
“Masih bisa terima penumpang, Pak?”
“Iye’, bisa-bisa.” Mendengar jawaban itu, batinnya mengucap syukur.
Hanya beberapa menit, dia dan beberapa penumpang lainya selesai melaksanakan
salat magrib. Pukul 19:10 WITA, mobil itu melaju kencang menuju arah kota
Kabupaten Sinjai, membawa dirinya dan sejuta luka dalam hatinya.
#######
Dinginnya malam kini
mulai terasa di sebuah desa di pelosok Kabupaten Bone. Malam ini akan menjadi
suram walau sinar rembulan bersinar terang. Rumah panggung itu mulai terlihat
sesak. Kerabat mulai berdatangan untuk meramaikan malam upacara mappacci[1]
sebelum melangsungkan pernikahan
esok hari. Sementara itu, Hana sedari tadi mondar-mondar di depan pintu kamar ayahnya,
tangannya menggenggam secarik kertas. Tampak sekali kegelisahan kini tengah
menggari hatinya.
“Ada apa, Nak?” tanya ayahnya dari belakang yang membuat Hana
terperanjat.
“Mmmm … Anu ...,”
jawab Hana ragu. Keringat dingin bercucuran di jidatnya. Tangan kirinya
menggaruk kepala lantas menyodorkan secarik kertas, yang tak lain surat yang
ditulis Hani sebelum pergi. Mata ayahnnya memerah seketika setelah membaca
surat itu. Wajahnya memburaikan amarah yang mulai membuncah. Ayahnya memanggil beberapa kerabat terdekat
lantas berlalu dari hadapannya. Hana tertunduk pasrah. Ingatannya tertuju pada
kata-kata dalam surat Hani yang memintanya untuk menggantikan dirinya menikah
dengan Hamka, atau menjadi pasampo siri’[2]
bagi keluarganya. Pikirannya kalut. Entah harus bersedih atas kepergian kakak
perempuannya, atau harus bahagia dengan keadaan yang akan membawanya bersanding
bersama lelaki yang dicintai juga mencintainya.
Hana berdiri
mematung di balik pintu kamar ayahnya. Keadaan di sekitar masih terlihat
normal. Pukul 23.00 WITA ayah dan beberapa kerabat terdekat serta perwakilan pihak mempelai lelaki melakukan perundingan
tertutup. Tak ada lagi upacara mappacci, hanya dentuman genderang
bertalu-talu dan suara sahut menyahut
kerabat jauh yang memecah kesunyian malam itu.
####
Pagi itu, sebuah
pesta mewah akan di langsungkan. Bosara[3]
berisi kue tradisional, serta hidangan khas masyarakat Bugis lainya sudah disiapkan di atas meja tamu. Beberapa anak
dara[4]
yang memakai baju bodo[5],
siap menyambut para tamu undangan. Di dalam kamar, Hana terdiam di depan cermin.
Memandang lamat-lamat wajah yang ada di hadapanya. Ada perasaan bersalah yang
tersembunyi di sana. Bagaimanapun dia sangat tahu isi hati Hani. Perasaan yang
sesungguhnya sangat mencintai calon suaminya itu.
“Inikah yang kau
inginkan, Han?” pekiknya dalam sunyi. Air matanya tumpah, melelehkan riasan di
wajahnya. Tangannya meremas pakaian pengantinnya, “kenapa harus jadi seperti
ini?”
Beberapa menit
kemudian, akad nikah segera di laksanakan. Pangantin lelaki, Pak Imam yang akan
menjadi penghulu dan beberapa saksi sedari tadi sudah berada di ruang akad.
Ayahnya yang akan bertindak sebagai wali juga sudah ada di sana. Hana merapikan
kembali riasan di wajahnya. Beberapa kerabat kini menemaninya di ruangan itu. Seperti
tak terjadi apa-apa. Tak ada yang mengungkit kepergian Hani. Hanya beberapa
kerabat dekat menunjukan wajah simpati padanya, karena harus bertindak sebagai passampo
siri’. Pesta itu di atur sedemikian rupa agar terlihat normal. Namun, tiba-tiba
saja segalanya menjadi berubah, kala sebuah sirene mendengung di halaman rumah.
Seisi rumah berhambur keluar. Beberapa orang berseragam abu-abu muda menurukan
mayat itu dari dalam ambulans, sedang sang sopir berbincang dengan Ayah lantas
menyerahkan sebuah tas yang tak lain adalah milik Hani. Dari informasi, di
ketahui bahwa Hani mengalami kecelakan mobil di kawasan Kabupaten Takalar.
“Haniiiii ...,” teriak
Hana kalap. Menyerbu tubuh Hani yang kini sudah kaku, “kenapa jadi seperti ini,
Han? kenapaaa?” Beberapa kerabat mencoba mengangkat tubuhnya, mengingatkan agar
mengucap istigfar. Sementara Ayahnya berdiri mematung memandangi mayat putri
sulungnya itu. Tubuhnya gemetar. Matanya sayu menyiratkan kesedihan yang
mendalam. Hari itu, pesta pernikahan yang seharusnya berlangsung bahagia
seketika itu menjadi pesta yang di selimuti duka. Sementara Hana masih memeluk
tubuh kakaknya, sang sopir ambulans mendekatinya, lalu menyerahkan secarik
kertas untuknya. Sekuat tenaga Hana membaca tiap jengkal tulisan itu. Surat
terkahir Hani yang di tulis untuknya.
Adikku, Hana.
Mungkin saat kau membaca
surat ini, rasa marah itu belum terhapus dari hatimu. Saat ini saya sudah pergi
jauh. Tak perlu kau mencariku. Hanya zinkan aku terus mengais maaf darimu, juga
dari Ayah, meski mungkin tak ada lagi maaf yang tersisa untukku. Kepergianku mungkin
menjadi siri [6]
bagi kelurga, tapi bolehkah aku meminta kepadamu untuk kedua kalinya? Kau
harus hidup bahagia bersama Hamka. Berbahagialah
dengan cinta kalian yang sempurna. Dengan begitu dosa siri yang
kutanggung akan lambat laun terasa lebih ringan.
Kakakmu, Hani.
#####
Setelah dimandikan
lalu disalatkan, Hani lalu dikuburkan di pemakaman umum yang terletak tak jauh
dari mesjid kampung. Menjelang sore beberapa kerabat masih berkumpul di rumah
itu. Pihak mempelai lelaki meminta agar akad nikah tetap di langsungkan. Hana
mengangguk pertanda mengiyakan.
Sore itu, mentari
masih bersinar terang dan langit yang berselimut awan menjadi saksi
berlangsungnya akad nikah antara dua insan yang saling cinta. Hana tertunduk
dalam diam. Beningan hangat itu masih saja mengguyur pipinya. Perasaannya
campur aduk. Namun yang dia tahu, saat ini ada janji yang sedang dipikulnya. Janji
untuk selalu hidup bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar