BISMILLAH.... di bawah ini salah satu cerpen yang saya tulis. Ide cerita berawal dari keresanhan hari akibat penyakit hati bernama Riya. Penyakit yang bisa memakan habis amalan-amalah yang sudah susah payah kita perjuangkan. hhhooohh :( selamat menikmati, semoga bisa memetik hikmah dari ceriita ini. :D
Sesungguhnya dia sudah mengenalku jauh sebelum aku mengenalnya. Dia Riya. Aku mengetahuinya
sejak duduk di bangku kelas 2 SMP. Guru
agama kamilah yang pertama kali
memperkenalkan namanya kepadaku. Panjang lebar guruku itu bercerita tentangnya.
Kata beliau, Riya jahat dan punya banyak musuh dimana-mana. Beliau berpesan
jangan sampai aku berteman dekat dengannya. Bisa bahaya!
Hari berganti bulan, bulan berganti
tahun. Pada akhirnya Riya kerap kali mengunjungiku. Seperti hari ini, saat aku
duduk termangu di perpustakaan kampus.
“Hai, ci, kamu cantik sekali hari
ini,” ucap Riya menyanjungku. Kebiasaan selalu memujiku itu yang membuatku bahagia dan nyaman jika dekat
dengannya. Aku paling senang jika dia
menganggapku yang terbaik. Dia juga yang selalu menyemangatiku untuk tampil
maksimal dihadapan orang-orang. Katanya, dengan begitu semua orang akan
mengakuiku. Mengakui kecantikanku, mengakui kebaikanku, dan juga kecerdasanku. Riya juga punya teman, namanya
Sum’ah baru beberapa pekan ini aku mengenalnya, tapi seperti Riya, Sum’ah sudah
mengenalku jauh sebelum aku mengenalnya. Aku juga senang kepada Sum’ah. Dia
suka mendengarkanku saat aku menceritakan amal baikku kepada sahabat-sahabatku. Katanya, aku terlihat berbeda dari pada
mereka, punya level yang lebih tinggi.
“Ah, masa sih, Ri, aku cantik?”
jawabku tak percaya.
“Iya, benar kok, kamu yang paling
cantik di sini. Lihat saja gadis di depanmu itu, terlihat kuno!” Riya menujuk
gadis berjilbab merah muda yang ada di depanku. Aku meliriknya sebentar.
Batinku membenarkan kata-kata Riya. Gadis itu terlihat sangat kampungan dibandingkan dengan cara berpakaianku, yang
lebih modern dan terkini. Terbersik rasa bangga dalam hatiku.
“Benar juga kamu, Ri.”
“Coba deh kamu baca buku yang
tebal-tebal, pasti kamu jauh terlihat hebat!” ucapnya meyakinkan, “sudah
cantik, pintar pula. Dia pasti akan iri padamu, Ci.”
“Iya, benar banget tuh, Ri.” Kuraih
buku paling tebal yang ada di depanku. Kubuka halaman demi halaman, mencari
bagian yang menarik untuk dibaca. Sesaat
wanita itu melirikku. Aku bersorak dalam hati.
“Dia pasti kagum padaku,” gumamku.
Riya menari mengelilingiku, berpesta melihat kebahagian yang tengah kurasakan.
****
Siang itu, Pak Sakaruddin, dosen psikologi pendidikan kami tidak
masuk, akan di gantikan oleh asistennya.
“Selamat siang Adik-adik.” Ucap wanita itu memasuki ruangan.
“Lah kok!” gumamku setengah terkaget. Dia wanita yang kulihat di
perpustakaan tadi. Yang punya cara berpakaian terbelakang itu.
Ternyata dia asisten Pak Sakaruddin.
“Hari ini kita mempelajari tentang kecerdasan emosional,” ucapnya
membuka pelajaran. Menit berlalu sedikit
demi sedikit. Mataku terus memperhatikan tiap gerak wanita itu, sementara
pikiranku terbang entah kemana, “kamu yang duduk di belakang sana, tolong
paparkan tentang kecerdasan emosional dari buku yang tadi kamu baca di
perpustakaan.” Wanita itu menujjuk ke arahku, seketika itu lamunanku hancur
berkeping-keping.
“Saya, Bu?” ucapku sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Semua mata dalam
ruangan itu tertuju padaku. Aku salah tingkah. Aku tidak sadar ternyata buku
yang tadi saya buka adalah buku yang berkaitan dengan mata kuliahku kali ini.
“Ya ampun, mana aku tahu! tadi aku cuma pura-pura membaca agar aku
dapat perhatiannya,” gumamku kesal dalam hati. Aku menyesal mengikuti arahan Riya,
coba saja aku tidak membuka buku itu, pasti kejadianya tidak seperti ini.
“Aku tidak tahu, Bu,”
lirihku dengan muka tertunduk. Seketika semua yang aku banggakan dalam diriku
musnah sudah. Aku malu.
1 komentar:
Halo kakak👋😄 saya izin mengadaptasi cerita ini untuk tugas presentasi saya ya🙏 Saya merasa sangat termotivasi dan terinspirasi dari cerita yang kakak rangkai ini✨😁🙏
Posting Komentar